SEORANG anak yang berperilaku nakal belum tentu karena si anak tersebut memang nakal.Coba cari tahu penyebabnya,bisa saja si kecil sedang dilanda stres?
Apa yang Anda pikirkan ketika mendapati anak berperilaku nakal atau suka menjahili temannya? Rasa jengkel pasti tebersit, tapi tunggu dulu! Jangan buru-buru memarahinya karena kenakalannya belum tentu karena dia memang nakal. Mungkin saja ada faktor-faktor dari luar yang memicu anak jadi stres sehingga lantas bermanifestasi dalam bentuk kejahilan atau kenakalan.
Dan jangan lupa,masalah yang bersumber dari rumah juga bisa terbawa sampai ke sekolah loh! “Rata-rata anak yang mengalami stres berasal dari keluarga yang broken. Misalnya bapaknya suka memukuli ibunya, atau bapaknya jarang pulang.
Gejala yang tampak di kelas seperti kelihatan ingin menang sendiri, ingin menguasai temannya, pemberontak atau malah sebaliknya berubah menjadi pendiam dan tidak mau apa-apa lagi,” sebut Dra Faida Delta dari SD Pondok Kelapa 03 Pagi,Jakarta.
Gejala yang tampak ketika seorang anak merasa tertekan memang bisa bermacam-macam dan berbeda-beda. Manifestasinya bisa berupa keluhan fisik seperti sakit perut,
migran, dan asma.Atau bisa saja menimbulkan gejala psikis seperti murung dan ketakutan.
Ada pula yang menangis tanpa henti dan berlari tanpa arah tujuan. Menurut Spesialis Perkembangan Anak dari North Carolina Cooperative Extension Service, Karen DeBord PhD, gejala-gejala umum stres bisa berbeda pada setiap tahap perkembangan anak. Pada anak-anak usia preschool bisa diamati dari kurangnya kontrol dirinya, suka lupa waktu, ingin menang sendiri, perubahan pola makan dan enggan bercerita kepada orang tua tentang perasaannya.“
Mereka juga agak gugup saat bicara, sulit tidur dan terkadang mengompol,”ujarnya. Reaksi yang lebih spesifik juga bisa tampak dari anak yang ketakutan, menangis sejadi-jadinya, atau bahkan paranoid. Ada pula anak yang sikapnya kembali seperti bayi lagi. Ia akan merasa ketakutan saat sendirian ditinggal orang tuanya, suka mengisap atau menggigiti jarinya, atau menjadi sangat sensitif terhadap suarasuara.
“Rasa sedih atau marah juga melingkupinya sehingga terkadang dia mimpi buruk, menjadi lebih agresif atau tiba-tiba tidur telungkup sambil menutup kuping,” kata Karen. Melangkah ke masa SD, tipikal anak pada usia ini akan marah dan merasa stres ketika segala sesuatu berlangsung tidak sesuai harapannya.
Manifestasinya bisa pada perubahan perilaku menjadi lebih agresif, bolos sekolah, ketakutan dan hilangnya konsentrasi. Reaksinya juga bisa dengan cara menarik diri dari pergaulan, merasa tidak dicintai dan tidak dipercaya,serta kesulitan mendefinisikan perasaan yang dialaminya.
“Di bawah pengaruh stres, mereka juga mengkhawatirkan masa depannya, kehilangan semangat, mengeluh sakit kepala dan sakit perut, kesulitan tidur, serta sering buang air kecil,”sebut Karen. Selanjutnya menginjak masa pra-remaja,perasaan tertekan biasanya tampak dari sikap suka memberontak, timbul masalah kulit, dan gangguan tidur.
“Gejala ini bisa hilang-timbul dengan tibatiba,” katanya. Kemarahan yang muncul pun biasanya berlangsung lebih lama, pikiran kosong,berkurangnya rasa harga diri dan tidak percaya pada banyak hal di dunia ini.“Orang tua perlu waspada karena mereka juga bisa menunjukkan perilaku yang ekstrem dan berisiko tinggi,seperti mengonsumsi alkohol atau narkoba, bahkan bunuh diri,” sebutnya.
Lantas, apa yang harus dicermati para orang tua? Perubahan perilaku anak adalah jawabannya karena merupakan indikator paling sering dijumpai. Menjahili teman juga bisa jadi merupakan cara anak melampiaskan kegalauan dan stres yang tengah dialaminya. Akibatnya,teman yang dijahili pun jadi ikut-ikutan stres.
“Sering kali ditemui tiba-tiba anak menjadi mogok ke sekolah. Setelah ditelusuri, ternyata masalahnya dia sempat dijahili temannya atau kalah dalam kompetisi. Namun, semuanya kembali lagi pada karakter masing-masing anak,”kata pendidik sekaligus ahli montessori,Lely Tobing. Karakter anak memang turut menentukan ketahanan dan penerimaannya terhadap stres.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh penulis buku Help Kids Cope with Stress & Trauma,Dr Caron Goode,yang mengatakan bahwa pengalaman dan kematangan emosional anak juga turut membentuk karakter yang pada akhirnya dapat membantu si anak dalam mengatasi rasa stresnya. Untuk itu, dalam hal sistem pengajaran di sekolah,Lely Tobing menyarankan agar para guru mencoba mengenali karakter anak didiknya.
“Buatlah strategi pengajaran berdasarkan karakter anak didik, kalau memang sekolah memakai metode active learning atau pendekatan individual. Guru juga harus banyak berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua.Sebab, biasanya guru tahu saat si anak mood-nya sedang naik atau turun,” papar Lely.
Lebih lanjut Lely mengungkapkan bahwa untuk anak usia di bawah 6 tahun,lingkup sosialnya masih sangat terbatas.Dengan begitu, guru dan orang tua menjadi orang terdekat di luar pengasuhnya. “Otomatis jika karakter orang terdekat ini membuatnya tidak nyaman, dia pasti akan terganggu dan timbul stres,”sebutnya.
Ketika anak mulai masuk sekolah, relasi sosialnya akan bertambah lagi seperti dengan guru olahraga atau penjaga sekolah.Terkadang lika-liku kehidupan sosial bersama teman di kelas yang sepele sekalipun bisa membuat anak tidak nyaman.Misalkan saat harus berpindah tempat duduk atau bertukar teman sebangku. Seiring perkembangan usia,potensi bersinggungan dengan stres kian bertambah.
Contohnya anak yang mendekati masa puber akan mengalami fase krisis identitas, mulai naksir teman sekelas, dan ketika dikecewakan timbullah stres yang berdampak pada nilai tes yang buruk dan tindakan bullying terhadap teman-temannya. “Kehidupan sekolah menunjukkan angka stres yang meningkat setiap tahunnya.
Dan kasusnya juga kian beragam dan menakutkan. Pesta ulang tahun di sekolah dan kompetisi olahraga antarkelas pun bisa menjadi pemicu reaksi stres pada seorang anak,” kata Dr Caron Goode. (inda susanti)
Referensi : Media Seputar Indonesia, Wednesday, 20 May 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar