Masa krisis tidak hanya berakibat menurunkan daya beli masyarakat,tetapi juga menghantam psikologi konsumen.Untuk itu,para pelaku usaha harus kreatif merebut hati pelanggan.
Kreativitas bisnis adalah sebuah kunci sukses. Itulah asumsi yang dilontarkan pakar marketing revolution Tung Desem Waringin. Menurut dia, kreativitas pelaku bisnis dalam melakukan pemasaran sangat dibutuhkan dalam keadaan krisis. Sebab, krisis tidak hanya berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat, tetapi juga menyerang psikologi masyarakat untuk menahan keinginan membeli. Dengan demikian kreativitas produsen atau perusahaan sangat dibutuhkan untuk bisa tetap menarik minat konsumen. “Krisis tidak mengakibatkan uang menjadi hilang.
Uang masih beredar di mana-mana. Di Amerika Serikat (AS) pun demikian. Jumlah uang tidak berkurang,justru malah bertambah dengan kebijakan pemerintah setempat. Jadi ini membutuhkan kreativitas para pelaku bisnis untuk bisa merebut pasar,”ujarnya. Tung menjelaskan, belajar kasus di Negeri Paman Sam, jumlah uang beredar semakin banyak.Misalnya, kredit macet properti untuk rumah yang sebelumnya dijual dengan harga USD2 juta per unit. Begitu resesi, hampir 20.000 nasabah kredit properti mengalami kredit macet.
Dengan kebijakan pemerintah, harga rumah pun diturunkan menjadi hanya USD500. Namun kenyataannya harga properti yang anjlok drastis itu masih tidak laku dijual. “Lantas ke mana uang USD1500 lainnya? Apakah hilang? Tidak, uang itu masih beredar di pasar.Namun psikologi masyarakat down akibat resesi ekonomi. Kondisi itu membuat mereka enggan melakukan pembelian. Meski punya uang, mereka akan lebih memilih menabung ketimbang membelanjakannya,”papar dia. Untuk itu, kreativitas pelaku bisnis sangat diperlukan agar bisa tetap tumbuh di masa krisis.
Tung mencontohkan, kreativitas yang dilakukan pemilik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari, salah satu BPR terbesar di Bali.BPR Lestari justru tumbuh dengan mengesankan seiring dengan peristiwa insiden Bom Bali I dan II.Padahal, tragedi pengeboman yang telah menewaskan ratusan orang membuat sektor perekonomian Bali terancam ambruk karena masyarakat ragu akan keamanan di Bali.
Awalnya bank ini hanya memiliki aset tidak lebih dari Rp1 miliar yang tidak kunjung mengalami peningkatan selama bertahuntahun. Namun, ketika terjadi peristiwa Bom Bali I, justru kinerjanya mengalami pertumbuhan hingga memiliki total nilai aset Rp6 miliar, kemudian meningkat Rp12 miliar saat Bom Bali II.Hingga saat ini BPR ini telah memiliki total nilai aset Rp60 miliar.
Apa rahasianya sehingga BPR Lestari justru tumbuh fantastis pada saat Bali sedang mengalami krisis akibat insiden bom? Pada saat krisis,banyak pelaku usaha yang lari atau bahkan menghentikan usahanya.Pascabom Bali waktu itu, tidak banyak perbankan yang berani melakukan ekspansi kinerja.Peluang inilah yang diambil BPR Lestari untuk bisa bertumbuh. “Namun jangan menunggu sampai Bom Bali III untuk bisa tumbuh lagi. Sebab ini adalah tragedi yang membuat kita semua prihatin.Yang terpenting kita harus melihat sisi positif dari semua keadaan,”ujarnya.
Kasus BPR Lestari, menurut Tung, memberikan pelajaran bahwa di saat krisis pun peluang untuk tumbuh terbuka lebar. Syaratnya, strategi menjalankan usaha harus tepat.Di antaranya dari sisi marketing. Tidak sedikit perusahaan karena alasan krisis langsung memotong biaya pemasaran produk. Jelas hal ini menjadi kontraproduktif. Sebab marketing tetap diperlukan, apa pun keadaannya, agar kinerja perusahaan bisa tumbuh. “Sekarang marketingnya seperti apa? Kalau hanya brandingya sayang anggarannya.
Jadi harus marketing yang bisa diukur hasilnya dan manfaatnya signifikan untuk peningkatan penjualan,” ungkapnya. Strategi marketing yang dilakukan tidak hanya mengajak konsumen untuk membeli,melainkan juga meyakinkan mereka bahwa krisis tidak perlu berpengaruh kepada psikologi mereka. Selain itu, masa krisis menuntut perusahaan jeli melihat potensi pasar-pasar baru. Meskipun pasar lama, tentu saja masih tetap digarap. Jika dianggap sudah tidak potensial, pasar lama bisa ditinggalkan.
“Contoh adalah strategi yang dilakukan CEO Temasek yang justru menjual perusahaannya di AS dengan harga merugi untuk kemudian memindahkan usahanya ke China karena dianggap potensial,” tandasnya. Hal senada diungkapkan dosen senior Harvard Business School Bhaskar Chakravorti yang menyebutkan ide bagus tidaklah cukup untuk bisa berkompetisi pascaresesi saat ini. Ada banyak bagian lebih kompleks yang bisa membuat perusahaan lebih mengencangkan ikat pinggang dalam mengalokasikan anggarannya.
Modal masih bisa didapatkan untuk beberapa ide potensial. “Saya memiliki harapan besar pada masa ini karena ada beberapa alasan. Para wirausaha yang berhasil menangkap sumber daya yang terbatas memiliki potensi untuk bisa melakukannya dengan benar.Kekurangan dan kemalangan dalam kondisi saat ini adalah merupakan kekuatan untuk memfokuskan perhatian,” paparnya sebagaimana dilansir dalam situs Harvard Business School (23 Februari 2009).
Bagaimanapun pemberitaan saat ini, buktinya ada beberapa contoh pelaku bisnis yang berhasil. Banyak contoh produk dan jasa yang diluncurkan berbuah kesuksesan. Di antaranya, Motorola, Southwest Airlines,Revlon cosmetics, Hewlett-Packard,dan MTV. Menurut Chakravorti, ketika meluncurkan produk baru,perusahaan harus “memaksa”seorang pelaku usaha untuk mengidentifikasi peluang.Di antaranya dengan mendapatkan sumber daya kreatif, kemudian diberi nilai tambah dengan keuntungan kompetitif.
“Dalam sejarah, kita bisa berharap pada kemunculan banyak industri baru pada masa resesi 1930 dibandingkan dengan situasi kita saat ini. Dulu ada banyak bermunculan wirausaha baru yang kemudian memiliki brand,”ujarnya. Meski demikian,ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masa resesi ekonomi.Di antaranya kebutuhan untuk menghilangkan pengaruh krisis. Kemudian, kebutuhan untuk munculnya kreativitas karena tersedianya waktu yang berlebihan atau tidak produktifnya tenaga kerja. Selain itu juga ada kebutuhan akan kemewahan yang terjangkau.
“Jadi, meski konsumen berhemat, bukan berarti mereka tidak akan menikmati produk yang memberikan kenyamanan dan hiburan. Sebab, mereka sudah mengalami hantaman psikologi akibat krisis. Jadi ciptakanlah produk yang memberikan nilai tambah bagi konsumen sehingga meski kondisi keuangan konsumen sedang cekak, karena menariknya penawaran, dia akan mempertimbangkan untuk membeli,” tandasnya.
referensi Media Seputar Indonesia, Sunday, 17 May 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar