Kamis, Mei 21, 2009

Para Nabi Pun Bekerja

DALAM sebuah perbincangan ringan di Bandara Soekarno- Hatta beberapa waktu lalu, seorang kenalan yang juga penggemar karya-karya saya bertanya kepada saya, apakah benar bahwa Islam memang tidak menghendaki pemeluknya untuk maju dan berada di garis depan peradaban?

Sebuah pertanyaan yang tentu saja membuat saya mengernyitkan dahi. Belum juga saya sempat berkomentar, sahabat saya ini, kembali berbicara menuntaskan kegundahannya. Kata dia, Indonesia akan sulit bangkit dan tumbuh menjadi negara maju lantaran mayoritas penduduknya adalah umat beragama Islam.

Islam, menurut dia, mengajarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang bertentangan dengan etos kerja dan inovasi.Padahal,etos kerja dan inovasi yang kuat temasuk pilar penting untuk kemajuan peradaban manusia. Kata dia lagi, Islam mengajarkan sikap menerima atas nasib dan bersikap sabar atas penderitaan, juga ikhlas.

Dengan demikian, menurut dia, Islam jauh benar dari sikap berusaha keras untuk mengubah nasib, yang justru dibutuhkan untuk bangkit dari keterpurukan. Tak cukup sampai di situ,kenalan saya ini lalu memaparkan bukti yang menurutnya sangat konkret lagi.Bukti tersebut yaitu penduduk negaranegara maju, negara-negara yang relatif menguasai peradaban dan memiliki kemajuan teknologi yang pesat kebanyakan adalah orang-orang nonmuslim.

Sementara penduduk dunia yang miskin dan terbelakang banyak dari kalangan muslim. Pernyataan-pernyataan ini tentu saja membuat hati saya sedikit tertusuk, bukan lantaran malu, tapi lebih pada rasa miris dan prihatin bahwa orang-orang muslim sendiri masih banyak yang begitu dangkal dalam memahami persoalan ini.

Tak bisa dimungkiri bahwa ada sebagian dari orang-orang muslim yang karena dangkalnya pemahaman agama membuat mereka menjadi bagian umat yang kerdil. Ketika saya tanyakan kepada kenalan itu, sudah berapa kali khatam Alquran, dia dengan jujur mengatakan belum pernah khatam sama sekali.

Kalau membaca surat Yasin ya beberapa kali karena ikut acara Yasinan di lingkungan RT, atau karena ada kerabat keluarga yang meninggal. Itu pun dengan jujur, dia tidak benar-benar membaca surat Yasin. Ya hanya ikut-ikutan seolaholah membaca. Bagaimana mungkin dia akan memahami Islam kalau kitab tuntunan paling utama dalam Islam, yaitu Alquran, sama sekali tidak dia sentuh.

Dia hanya melihat fenomena zaman yang berubah-ubah. Kondisi umat Islam yang dianggapnya terpuruk tidak bisa langsung sertamerta dirujukkan pada ajaran Islam yang dianggapnya sebagai biang keladi. Jika saja kenalan saya itu mau membaca Alquran.Pelan-pelan saja.

Tidak usah tergesa-gesa, lalu sedikit berhenti membaca terjemahnya jika punya. Terus dibaca sampai akhirnya ketemu surat At-Taubah, ayat 105,maka ia akan melihat bukti keagungan ajaran Islam. Allah berfirman, ”Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasulnya, serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan- Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.”

Islam adalah ajaran yang meletakkan prinsip keseimbangan, antara dunia dan akhirat. Bukanlah muslim yang baik yang meninggalkan dunia untuk urusan akhirat, bukan pula muslim yang baik yang meninggalkan akhirat untuk dunia. Seorang muslim yang baik adalah orang yang mampu memadukan dan menyeimbangkan keduanya

”Bekerjalah engkau untuk duniamu, seolah-olah engkau hidup selamanya, dan bekerjalah engkau untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari,” demikian Muhammad Rasulullah mengingatkan. Islam bukanlah ajaran yang mencetak para pemalas, Islam justru menghendaki umatnya kuat, umat yang memiliki etos tinggi, yaitu umat yang memimpin peradaban.

Di masa kenabian, Rasulullah telah membuktikan itu,kehadiran Islam di Madinah, telah membuat Madinah berubah drastis dari sebuah daerah kecil yang tak memiliki kebanggaan menjadi kota besar pusat peradaban.Di tangan Rasulullah peradaban Islam sejajar dengan peradaban Romawi.

Pasca-Rasulullah, peradaban Islam tumbuh lebih besar lagi, dan puncaknya ketika peradaban Islam memimpin peradaban dunia pada masa Dinasti Abasyiyyah. Islam tentu tidak ingin mengajak pemeluknya meninggalkan dunia. Islam mengajarkan manusia untuk bekerja. Bahkan,Para Nabi pun adalah orang-orang yang juga bekerja untuk mengais rezeki.

Dalam buku Al Waktu fi Hayatil Muslim, Prof Yusuf al-Qaradhawi mencatat nabi-nabi yang bekerja keras.

Nabi Adam tenyata bercocok tanam
,
Nabi Daud adalah seorang pandai besi atau produsen baju besi,
Nabi Nuh seorang tukang kayu
,
Nabi Idris seorang penjahit
,
Nabi Musa adalah penggembala,
Nabi Syu’aib sebagai ahli pertanian,
Nabi Yusuf sebagai menteri pengelola hasil bumi, dan
Nabi Muhammad SAW sebagai penggembala dan bisnisman yang andal.


Ini juga yang diikuti para pengikut Nabi Muhammad SAW.Sebelum menjadi khalifah,
Abu Bakar sudah terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang pakaian. Bahkan, beberapa saat setelah dinobatkan menjadi khalifah pun.Beliau masih melakukan kebiasaan tersebut.
Umar bin Khatab sudah terbiasa mengangkut air dengan ghirbah (tempat air dari kambing) untuk kepentingan keluarganya.

Atau
Abu Hurairah yang berstatus Guru Besar Hadis, dia masih bekerja memanggul kayu bakar dan mengerjakankeperluannya yang lain.
Imam Abu Hanifah, sang mujtahid agung, adalah seorang penjual hasil ladang.
Imam Malik aktif berdagang,
Imam Ahmad bin Hambal sibuk menyalin, meneliti, dan menyusun kitab-kitab. Imam Ahmad bin Umar yang berprofesi penambal sepatu dan menyusun buku tentang pajak. Ia menyusun buku tersebut di tengah kesibukannya menambal sepatu. Jika di pelbagai pelosok negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini masih banyak kita temukan para pemalas yang kerjanya tidak jelas, maka sejatinya bukanlah ajaran Islam yang keliru.

Para pemalas itu yang keliru memahami Islam. Cukuplah mereka salat lima waktu tepat pada waktunya, tidak perlu terapi macammacam, maka insya Allah mereka akan langsung berubah dari pemalas menjadi pekerja keras. Sebab, salat tepat lima waktu menuntut kedisiplinan dan niat yang kuat.

Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sang Sufi legendaris dari Mesir itu, dalam kitab Al-Hikam telah memberikan sebuah nasihat bijak untuk kita, ”Harapan harus disertai dengan amal,kalau tidak akan sia-sia”. Allahu a`lam

Habiburrahman El Shirazy Budayawan Muda, Penulis Novel Ayat Ayat Cinta

Referensi : Media Seputar Indonesia, Tuesday, 19 May 2009

Tidak ada komentar: