Dalam sebuah orasinya Prof. Emil Salim bercerita tentang guru-guru
yang telah menginspirasi beliau. Guru-guru kehidupan yang akhirnya
membentuk mozaik demi mozaik atas kehidupan dan “pilihan” jalan beliau.
Pertama
adalah ayah beliau, yang berpesan bahwa beda warna dan beda kulit
tidaklah membedakan kemampuan otak dan keterampilan manusia. Hal ini
memicu semangat beliau untuk melangkah paling depan diantara anak-anak
eropa dan totok Belanda di sekolahnya. Untuk melawan diskriminasi rasis.
Kedua
adalah Guru-guru beliau di sekolah HIS ( Holandische Inlandsche
School) ketika kelas V SD, yang mengajarinya menyanyi, mengenalkannya
pada gairah akan membaca dan mempelajari pesona akan ilmu pengetahuan
lainnya.
Selanjutnya yang paling berkesan dihatinya
adalah guru Kepala Sekolah De Jong. Seorang belanda totok yang sangat
mencintai alam. Pada hari sabtu tertentu, murid diajak menyeberangi
sungai masuk ke hutan lalu ketika masuk dihutan dan menyeberangi sungai
diganggu lintah pacet yang menjengkelkan. Gurunya meredam amarah
murid-muridnya dengan diajak diskusi dan duduk melingkari gurunya dan
selanjutnya gurunya menerangkan dengan menempatkan pacet diatas daun
dan meminta semua muridnya untuk memperhatikan perilaku pacet. Hasilnya
kepala pacet selalu tertuju pada sinar matahari. dari situlah Guru De
Jong menjelaskan bahwa pacet itu adalah kompas alam. Dan bila
murid-muridnya tersesat bisa menggunakan pacet sebagai arah petunjuk
mata angin. Lalu guru De Jong membawa murid-muridnya masuk hutan,
mendengar suara beruk bersahutan maka gurunya menjelskan bila tersesat
di hutan dan kelaparan. Carilah suara beruk dan makanlah apa yang
dimakan beruk, karena sistem pencernaannya hampir sama dengan manusia.
Dan hal itu semua telah mengubah pandangan murid-muridnya akan alam dan
lebih menghargai alam.
Selanjutnya Guru De Jong harus
berpisah dengan murid-muridnya termasuk Emil salim kecil untuk kembali
ke Belanda mengikuti wajib militer pada PD II, Guru De Jong mengajak
muridnya berpamitan di ketinggian bukit yang menghadap pada bentang
alam yang majestic dengan petak-petak sawah dan sungai yang
berkelok-kelok. Guru De Jong bercerita tentang keindahan alam yang
terbentang di hadapan mereka agar menjaga dan memelihara alam megah
itu.
Ketiga adalah guru-gurunya ketika jaman penjajahan
Jepang, gurunya orang jepang, mengajarkan, mendidiknya dan menanamkan
sikap untuk mandiri. Jika lapar, tanamlah makananmu sendiri, serta
mencangkul tanah dengan kekuatan sendiri. Bagaimana dengan pupuk? guru
orang jepang mengajarkan bahwa perut adalah pabrik pupuk nomer satu.
Sehingga dari situ Emil muda tertanam sikap dan berpikir untuk
menggunakan keseluruhan tubuh, semangat, dan otak manusia untuk
memperbaiki hidup secara mandiri.
Dari guru-gurunya itulah yang selanjutnya menginspirasi Prof. Emil Salim untuk terus berkarya dan belajar.
Terharu
saya mendengarkan orasi beliau dalam benak.. benar bahwa bila guru
benar mendidik, memfasilitasi murid, maka akan dapat mencetak
anak-anak yang punya karakter pembelajar. Pesan dari orasi tersebut
adalah mengajak guru-guru agar “open the door” bagi muridnya..karena
guru mampu mengubah banyak hal pemahaman akan hidup dan segala
kebaikannya bukan hanya sekedar tranfer ilmu pengetahuan dan teori yang
tak bermakna dan tanpa spirit.
Dan selanjutnya saya
membaca refleksi Prof. Emil Salim akan guru-gurunya tersebut dalam buku
Guru-guru Keluhuran Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman.
Semoga
dengan berbagi kisah dan pengalaman ini semakin memompa semangat kita
dalam menimba ilmu. Seperti yang Rasulullah sampaikan, bahwa menuntut
ilmu itu sampai akhir hayat kita.. Dan tidak lupa bahwa menghormati
ulama dan guru kita adalah salah satu kewajiban kita agar keberkahan
dan rahmat Allah selalu mengiringi ilmu yang kita dapatkan.
Semoga Menginspirasi Kebaikan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar