Kita ingin lebih baik dari orang lain, tapi kita berpikir orang lain lebih baik dari kita,
lalu kita berpikir bagaimana agar keinginan kita bisa tercapai.
Persaingan Setua Umur Manusialalu kita berpikir bagaimana agar keinginan kita bisa tercapai.
Persaingan diawali dengan naluri untuk menang. Yang menang akan berkuasa atas yang kalah. Pemenang mendapat lebih banyak, lebih baik dan lebih terhormat. Kemenangan selalu memberikan keutamaan.
Dalam situasi kompetisi yang sangat ketat saat ini, kita ditantang agar mampu untuk survive dan sukses. Prinsip konvensional untuk menang dan sukses adalah dengan mengalahkan para pesaing kita. Siapa kuat dia menang. Namun kondisi seperti ini menjadi semakin tidak kondusif. Ada pemenang dari sekian banyak yang kalah. Dan, yang kalah tentu tidak tinggal diam, tapi akan membuat perlawanan lagi.
Tanpa sadar akhirnya kita terjebak dalam situasi persaingan yang tidak sehat. Berbagai cara dihalalkan untuk berhasil. Karena itu harus disadari bahwa situasi ini hanya akan merugikan semua pihak. Persaingan yang tidak sehat memicu kebencian, dendam, kemarahan, dan akhirnya menimbulkan perpecahan.
Mengapa Terjadi?
Ketika raja Daud menjadi tua, maka tentu saja salah seorang dari anak-anaknya akan diangkat menjadi raja menggantikan ayah mereka. Berbagai intrik lalu terjadi. Hal ini sangat memilukan hati raja. Berawal dari sikap ambisi yang menghalalkan segala cara, persaingan yang tidak sehat segera memicu perang terbuka antar saudara.
Situasi persaingan bukan hanya melanda kalangan monarki, tapi juga ada di setiap lini kehidupan kita. Di tengah keluarga, sekolah, dunia kerja, bisnis, politik, bahkan di lingkungan keagamaan sekali pun, persaingan selalu hadir dengan wajah yang berbeda.
Masalah terjadi ketika persaingan berubah menjadi tidak sehat. Berbagai kendala dan kerugian segera menghadang. Nilai-nilai kebajikan terabaikan dan terinjak-injak. Bahkan hubungan menjadi bubar dan relasi jadi terisolasi. Sedangkan yang tersisa hanya kebencian dan perpecahan, ambisi dan kecurangan.
Indikasi Terjadinya Persaingan Tak Sehat
Persaingan bisa terjadi selama kita masih memiliki berbagai keinginan dan cita-cita. Keinginan bukan dosa. Cita-cita itu berguna dan perlu. Tetapi dapat seketika berubah menjadi bencana jika dipicu oleh situasi dan berbagai aspek yang tidak tepat. Indikasinya dapat segera diwaspadai dengan memahami situasi yang berlangsung.
Persaingan tidak sehat dipicu oleh 5 aspek berikut :
- Dilandasi oleh motivasi yang keliru.
- Diukur dengan penilaian dan persepsi yang salah.
- Dilakukan dengan cara-cara atau trik yang tidak benar.
- Diwarnai dengan sikap emosional, reaktif, impulsif, asumsi, dan prasangka.
- Dampaknya negatif bagi semua pihak.
1. Respect
Sikap menghargai dimulai dengan belajar menghargai diri sendiri. Mengenal, menerima dan mengembangkan potensi pribadi membuat kita memiliki keyakinan atau self confidence yang kuat. Kita juga dapat menghargai kesuksesan orang lain yang lahir dari potensi, perjuangan dan ketekunan mereka. Sikap respek mendorong kita untuk berkompetisi secara sehat dan maksimal. Sedang dari sisi networking, kompetisi bahkan bisa diubah menjadi sinergi dengan win-win solution.
2. Fairness
Rasa keadilan selalu lahir dari integritas seseorang, dari hati nuraninya yang murni. Sedangkan kecurangan timbul karena sikap iri hati. Keadilan merupakan kompas atau jarum penunjuk bagi ” Do and Don’t ” sebuah kompetisi. Tanpa sikap fair, kita cenderung untuk mencari jalan pintas dengan menghalalkan segala cara. Akhirnya kita terjebak dalam persaingan yang tidak sehat.
3. Sportivity
Sportifitas berasal dari kata sport atau olah raga. Dalam dunia olah raga, kompetisi adalah mutlak. Dalam tiap pertandingan olah raga ada aturan main yang jelas dan harus ditaati oleh semua peserta. Memiliki sikap sportif berarti ada kebesaran hati untuk mengakui keunggulan orang lain, namun tetap rendah hati ketika kita mendahului mereka.
The Word of Wisdom
Respect, fairness and sportivity are the pillars of perfect competitions
sumber : beritanet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar